JAKARTA, Nawacitanews2.com – Sebagai organisasi masyarakat (Ormas) Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) sepertinya tengah terjadi perubahan dinamika internalnya terkait dengan sikapnya terhadap pemerintah. Padahal, NU memiliki karakter politik akomodatif. Tapi trend saat ini sedang menuju kearah oposan pemerintah.
Seperti, pada moment acara penting, Ketua PBNU Said Aqil Siradj melontàrkan kritikan tajam beberapa persoalan aktual di masyarakat. Fenomena tersebut menarik untuk ditanggapi sebagai gejala perubahan peta politik menghadapi pilpres 2024 yang akan datang.
‘Sebagai tulang punggung di balik kemenangan Joko Widodo menjadi presiden dua periode adalah warga nahdiyin. Geliat kekecewaan warga NU tersebut di ekspresikan kiai Agil Siradj diatas tentunya punya pengaruh terhadap konstelasi politik nasional,” ungkap pengamat kebijakan politik dari Center of Publoc Policy Studies (CPPS) Bambang Istianto kepada Awak Media, Rabu (12/2/20202).
Bambang mengungkapkan, publik memahami kekecewaan warga nahdiyin karena imbal balik kemenangan Joko Wiododo pada pilpres 2019 salah satunya kementrian agama lepas dari pangkuan NU. Padahal porsi tersebut ibarat ruh nya NU.
Oleh sebab itu, kata Bambang, terkait kebijakan Jokowi yang dinilai kurang akomodatif tersebut, membuat kalangan NU mulai bersikap. Kendati demikian, wakil ketua asosiasil ilmuwan administrasi negara itu juga menduga di balik sikap kritis Kiai Said ada maksud tertentu guna menyuarakan aspirasi warga nahdiyin.
“Atau masih meneruskan sikap politik pragmatismenya sesuai perubahan situasi yang akan datang?. Faktanya bukan rahasia ditubuh ormas terbesar tersebut terdapat dua kubu, yaitu yang populer disebut NU garis lurus dan NU pragmatis,” ungkap Bambang.
Seperti diketahui kemenangan dalam pilpres yang lalu Joko Widodo mendapat dukungan kuat duet antara kaum nasionalis dengan islam tradisional. Pernyataan Joko Widodo beberapa waktu yang lalu bahwa pada periode kedua pemerintahannya “merasa tidak ada beban” boleh jadi berani melepas dukungan dari “kaum sarungan” tersebut.
Demikian pula Kisruh yang dihadapi PDIP tentang Herman Nasiku apakah Joko Wido kecolongan atau pertanda dukungan PDIP terhadap Joko Widodo berakhir?
Bambang menambahkan, jika Joko Widodo melepaskan diri dari dukungan kaum nahdiyin dengan mengàbaikan aspirasinya, maka merupakan kalkulasi politik yang lemah. “Tidak bisa dipungkiri, peran NU di kancah poloitik nasional sejak baik prakemerdekaan maupun pascakemerdekaan sangat dominan. Oleh karenanya, pemerintah tidak boleh memandang dengan sebelah mata terhadap kipran NU,” ujarnya.
Seperti diketahui, Periode kedua era Pemerintahan Joko Widodo, ketimpangan ekonomi masih menjadi masalah besar bagi bangsa Indonesia. Bahkan, penguasaan kekayaan negara yang hanya dimiliki oleh sekelompok orang menjadi sorotan tajam sejumlah pihak.
Sementara itu, terkait dengan pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang akhir-akhir ini terus melambat, menjadi perhatian serius Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dan pendukung utama pasangan Jokowi-Maruf Amin pada pemilihan presiden (Pilpres) 2019 lalu, sepertinya sudah mulai merasakan kekecewaan terhadap Pemerintahan Jokowi.
Seperti pada pada pidato Peringatah Hari Lahir Ke-94 NU di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat (31/1/2020) kemarin, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj kemabali melontrakan kritik keras pada pemerintah Indonesia yang tak kunjung berhasil memperpendek jarak ketimpangan ekonomi di Indonesia.
Pasalnya, hingga periode kedua pemerintahan presiden Jokowi saat ini, jarak ketimpangan perekonomian Indonesia antara yang kaya dan yang miskin masih jauh.
Menurutnya, saat ini, penguasaan kekayaan di Indonesia hanya dimiliki segelintir orang saja. Sementara itu, kelompok miskin di Indonesia yang sebagian merupakan warga NU berada dalam kondisi tidak berdaya.
“Kita semua tahu Solikin, Jumadi, Zulkifli, Madrais hanya jadi penonton, gigit jari,” katanya
Nama-nama yang diungkapkan Kiai Said merupakan nama umum bagi warga
Dalam kesempatan ini, Kiai Said juga menganggap, pemerintah cenderung membiarkan kelompok miskin untuk bersaing dengan kelompok kaya atas nama ‘pasar bebas’, sehingga warga miskin NU semakin tidak berdaya.
Kiai said juga mengkritik perlakuan berbeda oleh perbankan terhadap kelompok kaya dan miskin.
“Pengusaha kecil dan menengah belum tentu diterima untuk mengajukan pinjaman uang ke pihak bank. Tapi, kalau konglomerat malahan banknya yang menawarkan,” kata Kiai Said.
Selain itu, Kiai Said juga mengkritisi persoalan korupsi yang kerap terjadi dalam skala besar seperti yang tengah terjadi di perusahaan asuransi Jiwasraya. Hal itu, kata Kiai Said menunjukkan betapa buruknya pengelolaan perekonomian di Indonesia.
Menurut Kiai Said, kondisi ketimpangan ekonomi dibiarkan tanpa perbaikan yang ‘radikal’, maka bisa jadi masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemerintah.
Oleh karena itu, kata dia, NU berharap fenomena tersebut jangan sampai menimbulkan distrust di kalangan masyarakat
Meski demikian, menurut Kiai Said, pada dasarnya, NU tidak anti terhadap konglomerat. Justru NU mendukung konglomerat yang berpihak kepada masyarakat kecil, atau konglomerat yang berupaya mengkatrol pengusaha kecil menjadi menengah, yang menengah menjadi besar.
Kiai Said juga menyoroti sejumlah kenaikan barang yang dibebankan pada masyarakat seperti kenaikan iuran BPJS dan harga elpiji. *(AS-SK-Red)