Oleh : Gungde Ariwangsa, SH – Ketua Siwo PWI Pusat
Pulang Malu, Tak Pulang Rindu. Kata-kata yang menggambarkan tentang kegalauan para pekerja yang nasibnya belum menentu di luar rumah, daerah maupun luar negeri. Rangkaian kata yang banyak ditulis di bak-bak truk maupun tembok-tembok di berbagai tempat bahkan sudah didendangkan dalam lagu. Masihkan relevan saat wabah virus corona (Covid-19) melanda Indonesia dan dunia?
Jeritan hati anak rantau yang mencari pekerjaan dengan meninggalkan pacar atau istri dan anak-anak di rumah itu selalu akan hidup. Mengiringi kisah perjuangan para pemburu kerja itu untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang bisa menghidupi dirinya dan keluarganya. Bila sukses maka rasa rindu bisa dihapus tanpa rasa malu. Bahkan ada kebanggaan yang dibawa saat bertemu dengan pacar, istri, anak-anak atau keluarga.
Bila hidup di rantau belum menentu maka desahan pulang malu, tidak pulang rindu terus mengusik. Apalagi bila saat-saat menjelang hari libur atau liburan panjang. Lebih-lebih di kala Ramadan dan Idul Fitri yang terkenal dengan tradisi mudik atau pulang kampung.
Namun kali ini, kegalauan para perantau itu makin memilukan. Pasalnya, bukan saja karena alasan malu tidak bisa melepaskan rasa rindu di daerah atau kampung. Karena Covid-19, ada tembok penghalang yang membuat tidak bisa pulang. Bukan saja bagi yang nasibnya belum menentu namun juga bagi yang hidupnya sudah lebih baik dan bahkan sukses di daerah atau negeri orang.
Penghalang itu apalagi kalau bukan larangan mudik dari pemerintah. Dalam rangka memutus rantai penyebaran dan penularan Covid-19, pemerintah membuat larangan mudik atau pulang kampung. Ini berkaitan dengan penerapan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk percepatan penanganan Covid-19.
Namanya rasa rindu kadang-kadang sukar dibendung. Meskipun ada larangan, banyak yang berusaha menyiasati dan melanggar larangan itu. Demi bertemu orang tercinta dan terkasih apa pun ditembus. Jangankan larangan mudik, gunung dan bukit kan didaki serta sungai dan lautan kan diseberangi.
Munculah kisah-kisah yang menengangkan bahkan menggelikan dari orang-orang yang tetap nekad untuk pulang kampung menembus larangan. Ada yang naik mobil travel gelap. Bersembunyi di mobil boks atau truk. Rela menunggu bis di pinggir sawah di jalan tol. Kemudian nekad berjalan kaki menyusuri tebing untuk lolos dari petugas. Ada pula yang menyamar jadi petugas gadungan.
Bila lolos ke luar dari daerah tempat perantau bukan berarti sudah aman. Di daerah tujuan ada juga penjagaan ketat. Kalau tertangkap maka harus menjalani isolasi selama 14 hari. Jika sehat baru bisa bertemu keluarga. Yang ada gejala apalagi positif Covid-19, harus rela masuk rumah sakit.
Melihat pengalaman-pengalaman itu maka di tengah merajalelanya virus ganas yang muncul dari Wuhan, China itu tidaklah perlu untuk memaksakan diri mudik atau pulang kampung. Sebesar apa pun rasa rindu ingin bertemu. Kecuali memang ada alasan mendesak sekali.
Lebih baik untuk tetap di daerah perantauan. Bagusnya lagi tetap disiplin tidak ke luar rumah. Tetap menjaga jarak dengan orang lain dan tidak membuat kerumunan. Selain itu jangan dilupakan untuk selalu menjaga kebersihan dengan mencuci tangan.
Berkorban memendan rindu merupakan hal yang mulia saat ini. Selain untuk menjaga keselamatan diri sendiri juga keselamatan orang lain. Termasuk keluarga, tetangga, sahabat dan warga lainnya. Demi cepat mengusir Covid-19 memang dibutuhkan pengorbanan.
Masalahnya tentu pulang itu bukan hanya sekadar untuk melepas rasa rindu. Mudik atau pulang kampung itu bisa juga karena terpaksa untuk meringankan beban hidup. Bertahan di rantau kondisi akan lebih buruk.
Dalam kondisi itulah kehadiran negara, pemerintah amat dibutuhkan oleh rakyat saat ini. Negara melalui jaringan pemerintahan di pusat dan daerah seharusnya sudah bergerak cepat mengantisipasi hal ini. Gerak cepat pemerintah dalam memperhatikan nasib rakyatnya akan memperkecil atau malah bisa meredam keinginan pulang kampung atau mudik saat ini. Tetapi nyatanya masih banyak yang berusaha dan nekad untuk pulkam. Tentu ada yang salah dengan pemerintah.
Ketidaktegasan dalam menerapkan aturan PSBB terutama larangan mudik merupakan kesalahan paling menonjol. Setelah tidak tegas, pemerintah juga plin-plan dalam menerapkan aturan soal pembatasan sosial ini. Kemudian, seperti disinggung tadi, pemerintah mempunyai kesalahan dalam menyediakan dan membantu kebutuhan pokok warganya.
Paling mencolok tentunya keputusan Kementrian Perhubungan yang dengan terburu-buru membuka larangan operasi moda transportasi. Kemudian juga tidak mau menstop operasi kereta api commuter line yang sudah dikhawatirkan rawan penyebaran Covid-19. Langkah Kemenhub itu menjadi pukulan telak bagi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang berjuang keras untuk menghadang dan membersihkan virus ganas mematikan itu dari Indonesia.
Ironisnya lagi langkah pemerintah dalam menangani masalah tenaga kerja asing (TKA), khususnya dari China. Saat pembatasan gerak bagi masyarakat Indonesia, pemerintah justru memberi kelonggaran bagi masuknya TKA asal China. Kebijakan yang bukan saja membuat kebingungan namun juga mengundang keresahan.
Tidak pelak lagi apa yang dilakukan pemerintah itu mendapat kritikan tajam dari berbagai kalangan. Beberapa hari lalu, 32 Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi membuat pernyataan sikap dalam menyikapi kondisi bangsa yang dilanda krisis akibat serangan Covid-19. Dalam pernyataan sikapnya, 32 Dewan Pimpinan MUI Provinsi itu mendesak pemerintah menolak masuknya TKA khususnya dari China dengan alasan apa pun juga. Meminta dengan tegas kepada Presiden Republik Indonesia untuk membatalkan kebijakan Menteri Perhubungan yang membuka dan melonggarkan moda transportasi.
Ada yang lebih dalam lagi. Para Dewan Pimpinan MUI Provinsi itu mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk tetap konsisten dan berkomitmen dalam menegakkan Pancasila dan UUD tahun 1945 dalam setiap kebijakannya. Juga mendesak kepada presiden, para menteri, para gubernur, para bupati dan para walikota se-Indonesia untuk senantiasa mengedepankan sikap serta semangat nasionalisme dan patriotisme dalam memimpin negeri tercinta Indonesia. Sehingga NKRI tetap utuh, maju dan bersatu selama-lamanya. (SK-Red)